Rabu, 03 Mei 2017

Kritik Terhadap Alat Tes kepribadian

Kritikan Terhadap Alat Tes Kepribadian
Oleh Sulessana
Sebelum abad kesembilan-belas studi tentang tingkah laku manusia hampir sepenuhnya merupakan wewenang para ahli teologi dan para ahli filsafat. Tepatnya pada tahun 1879 melalui laboratorium di Leipzig, Wilhelm Wundt berhasil menerbitkan jurnal pertama dibidang psikologi eksperimental. Pada saat itulah psikologi berhasil keluar dari bagian ilmu filsafat dan menentukan arah keilmuannya sendiri.
Para peneliti saling berlomba dalam menciptakan mazhab psikologi. Di Amerika dikenal tokoh William James yang mengembangkan fungsionalisme, John B. Watson yang mengembangkan Behaviorisme, Psikologi Gestalt didirikan di Jerman,  dan di Wina dikenal dengan psikoanalisis Sigmund Freud
Kajian psikologi diatas, hingga saat ini dikenal dengan sebutan psikologi umum yang berusaha mengungkap fakta-fakta bersifat universal, meski prinsip-prinsip, dan hukum-hukum perilaku manusia, titik awal penelitiannya berbeda. Psikologi umum berusaha berusaha menemukan prinsip-prinsip yang terkontekstual, mekanis, universal dan berasumsi bahwa teori-teori psikologi saat ini bersifat universal (Koch & Leary,1985).
Keuniversalan teori psikologi tenyata mendapat berbagai kritikan. Di Prancis misalnya, Moscovoci (1972) mengatakan bahwa para psikolog Amerika mengadopsi “isu-isu masyarakatnya sendiri untuk tema-tema penelitian dan untuk isi teori-teorinya”. Azuma (1984) mengatakan bahwa pengembangan teori-teori universal terbatas karena para psikolog Amerika tidak dapat memahami fenomena di luar Amerika Serikat: “Ketika seorang psikolog melihat sebuah budaya non-Barat melalui kacamata Barat, ia mengkin tidak mampu melihat aspek-aspek penting budaya non-Barat karena skemata untuk mengenalinya tidak disediakan oleh ilmu pengetahuannya”. Para psikolog Amerika bahkan mengakui bahwa teori-teori dalam psikologi umum merefleksikan nilai-nilai kultural AS (Murphy & Kovach, 1972; Sampson, 1977; Shweder, 1999).
Ditambahkan lagi kritikan terhadap psikologi umum adalah ketika para psikolog belajar di barat dan diajar oleh orang barat, ketika mereka kambali ke negara asalnya, mereka kesulitan dalam mengaplikasikan ilmu yang didapatnya, terkhusu pada aspek validitas, universalitas, dan aplikabilitas teori-teori psikologi (misalnya, Hiroshi Azuma di Jepang, Sang-Chin Choi di Korea, Michael Durojaiye di Nigeria, Virgilio Enriquez dan Alfred Lagmay di Filipina, David Ho dan Chung-Fang Yang di Hong Kong, Bame Nsamenang di Kamerun, Jose Miguel salazar di Venezuela, Durganand Sinha dan Jai B.P. Sinha di India dan Kuo-Shu yang dan Kwang-Kuo Hwang di Taiwan). Para ahli mengatakan bahwa setiap budaya seharusnya dipahami dari kerangka acuannya, termasuk konteks ekologis, historis, filosofis, dan religiusnya.
Teori-teori psikologi yang sudah ada tidak universal karena mereka telah mengeliminasi kualitas-kualitas yang memungkinkan orang untuk memhamai, memprediksi, dan mengontrol lingkungannya.
Terlepas dari teori psikologi yang dikembangkan di Benua Eropa, hingga saat ini benua lain masih mengadopsi beberapa teori tersebut, tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia termasuk negara konsumtif penganut aliran psikologi barat. Hal ini dibuktikan oleh mahasiswa psikologi yang yang dituntut untuk mempelajari beberapa tes psikologi, salah satunya tes kepribadian (BAUM, DAP, HTP , WARTEGG dll). Mereka dituntut untuk menginterpretasikan kepribadian orang lain berdasarkan analisis indikasi yang sangat subjektif. Misalnya pada tes grafis, kepribadian seseorang bisa diketahui hanya melalui gambar, seolah-olah kita dituntut untuk menjadi dukun ataupun peramal yang mengetahui seseorang luar dalam. Tidak bisa menafikkan bahwa subjektifitas bisa saja mendominasi hasil dari observasi. Contoh kasus ketika tester adalah orang yang kita kenal, orang yang berjiwa seni (khusus untuk tas grafis), ataukah orang yang kita sayangi ataupun benci. Aspek-aspek seperti itu yang nantinya menjadikan hasil tes tidak valid. Tapi apa mungkin hasil tes itu mengenal kata valid?
Masih terlalu dini untuk menentukan kepribadian seseorang melalui tes psikologi, ditambah lagi alat yang digunakan adalah produk budaya barat. Bagaimana mungkin mereka (tenaga pendidik) begitu mempercayai dan menuntut mahasiswa untuk mengkonsumsi hal tersebut. Seperti yang dikatakan Elms (1975) bahwa “apakah mereka sedang mengalami sebuah krisis identitas, sebuah krisis paradigmatis, atau sebuah krisis kepercayaan, sebagian besar tampaknya sepakat bahwa krisis itu segera terjadi”, sehingga membuat seluruh kampus di Indonesia terpaksa menjadi penyembah teori-teori barat.  Dimana letak identitas ketimuran kita.

Tidak bisa dipungkiri betapa banyaknya lulusan psikologi yang menyandang gelar Profesor dan Doktor, tetapi masih saja kita menjadi mahasiswa yang mengkonsumsi budaya barat. Tidakkah mereka (ahli) bisa mengusahakan membuat aliran tersendiri yang asli produk budaya kita (Indonesia). Sebuah aliran (kajian) ilmiah yang native (asli) yang tidak ditransportasikan dari wilayah lain, dirancang untuk masyarakatnya, serta menganjurkan untuk menelaah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang dimiliki orang tentang dirinya dan bagaimana mereka menjalankan fungsinya dalam konteks keluarga, sosial, kultural dan ekologis mereka. Aliran ini diidentifikasikan bisa menciptakan ilmu yang lebih taat asa, sistematik, universal, yang dapat diverifikasi secara teoritik dan empirik, yang merupakan produk asli Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar