Kritikan Terhadap Alat
Tes Kepribadian
Oleh Sulessana
Sebelum abad kesembilan-belas studi
tentang tingkah laku manusia hampir sepenuhnya merupakan wewenang para ahli
teologi dan para ahli filsafat. Tepatnya pada tahun 1879 melalui laboratorium
di Leipzig, Wilhelm Wundt berhasil menerbitkan jurnal pertama dibidang
psikologi eksperimental. Pada saat itulah psikologi berhasil keluar dari bagian
ilmu filsafat dan menentukan arah keilmuannya sendiri.
Para peneliti saling berlomba dalam
menciptakan mazhab psikologi. Di Amerika dikenal tokoh William James yang
mengembangkan fungsionalisme, John B. Watson yang mengembangkan Behaviorisme, Psikologi
Gestalt didirikan di Jerman, dan di Wina
dikenal dengan psikoanalisis Sigmund Freud
Kajian psikologi diatas, hingga saat ini
dikenal dengan sebutan psikologi umum yang berusaha mengungkap fakta-fakta bersifat
universal, meski prinsip-prinsip, dan hukum-hukum perilaku manusia, titik awal
penelitiannya berbeda. Psikologi umum berusaha berusaha menemukan
prinsip-prinsip yang terkontekstual, mekanis, universal dan berasumsi bahwa
teori-teori psikologi saat ini bersifat universal (Koch & Leary,1985).
Keuniversalan teori psikologi tenyata
mendapat berbagai kritikan. Di Prancis misalnya, Moscovoci (1972) mengatakan
bahwa para psikolog Amerika mengadopsi “isu-isu masyarakatnya sendiri untuk
tema-tema penelitian dan untuk isi teori-teorinya”. Azuma (1984) mengatakan
bahwa pengembangan teori-teori universal terbatas karena para psikolog Amerika
tidak dapat memahami fenomena di luar Amerika Serikat: “Ketika seorang psikolog
melihat sebuah budaya non-Barat melalui kacamata Barat, ia mengkin tidak mampu
melihat aspek-aspek penting budaya non-Barat karena skemata untuk mengenalinya
tidak disediakan oleh ilmu pengetahuannya”. Para psikolog Amerika bahkan
mengakui bahwa teori-teori dalam psikologi umum merefleksikan nilai-nilai
kultural AS (Murphy & Kovach, 1972; Sampson, 1977; Shweder, 1999).
Ditambahkan lagi kritikan terhadap
psikologi umum adalah ketika para psikolog belajar di barat dan diajar oleh orang
barat, ketika mereka kambali ke negara asalnya, mereka kesulitan dalam
mengaplikasikan ilmu yang didapatnya, terkhusu pada aspek validitas,
universalitas, dan aplikabilitas teori-teori psikologi (misalnya, Hiroshi Azuma
di Jepang, Sang-Chin Choi di Korea, Michael Durojaiye di Nigeria, Virgilio
Enriquez dan Alfred Lagmay di Filipina, David Ho dan Chung-Fang Yang di Hong
Kong, Bame Nsamenang di Kamerun, Jose Miguel salazar di Venezuela, Durganand
Sinha dan Jai B.P. Sinha di India dan Kuo-Shu yang dan Kwang-Kuo Hwang di
Taiwan). Para ahli mengatakan bahwa setiap budaya seharusnya dipahami dari
kerangka acuannya, termasuk konteks ekologis, historis, filosofis, dan
religiusnya.
Teori-teori psikologi yang sudah ada
tidak universal karena mereka telah mengeliminasi kualitas-kualitas yang
memungkinkan orang untuk memhamai, memprediksi, dan mengontrol lingkungannya.
Terlepas dari teori psikologi yang
dikembangkan di Benua Eropa, hingga saat ini benua lain masih mengadopsi
beberapa teori tersebut, tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia termasuk
negara konsumtif penganut aliran psikologi barat. Hal ini dibuktikan oleh
mahasiswa psikologi yang yang dituntut untuk mempelajari beberapa tes
psikologi, salah satunya tes kepribadian (BAUM, DAP, HTP , WARTEGG dll). Mereka
dituntut untuk menginterpretasikan kepribadian orang lain berdasarkan analisis
indikasi yang sangat subjektif. Misalnya pada tes grafis, kepribadian seseorang
bisa diketahui hanya melalui gambar, seolah-olah kita dituntut untuk menjadi
dukun ataupun peramal yang mengetahui seseorang luar dalam. Tidak bisa
menafikkan bahwa subjektifitas bisa saja mendominasi hasil dari observasi.
Contoh kasus ketika tester adalah orang yang kita kenal, orang yang berjiwa
seni (khusus untuk tas grafis), ataukah orang yang kita sayangi ataupun benci.
Aspek-aspek seperti itu yang nantinya menjadikan hasil tes tidak valid. Tapi
apa mungkin hasil tes itu mengenal kata valid?
Masih terlalu dini untuk menentukan
kepribadian seseorang melalui tes psikologi, ditambah lagi alat yang digunakan
adalah produk budaya barat. Bagaimana mungkin mereka (tenaga pendidik) begitu
mempercayai dan menuntut mahasiswa untuk mengkonsumsi hal tersebut. Seperti
yang dikatakan Elms (1975) bahwa “apakah mereka sedang mengalami sebuah krisis
identitas, sebuah krisis paradigmatis, atau sebuah krisis kepercayaan, sebagian
besar tampaknya sepakat bahwa krisis itu segera terjadi”, sehingga membuat
seluruh kampus di Indonesia terpaksa menjadi penyembah teori-teori barat. Dimana letak identitas ketimuran kita.
Tidak bisa dipungkiri betapa banyaknya
lulusan psikologi yang menyandang gelar Profesor dan Doktor, tetapi masih saja
kita menjadi mahasiswa yang mengkonsumsi budaya barat. Tidakkah mereka (ahli)
bisa mengusahakan membuat aliran tersendiri yang asli produk budaya kita
(Indonesia). Sebuah aliran (kajian) ilmiah yang native (asli) yang tidak
ditransportasikan dari wilayah lain, dirancang untuk masyarakatnya, serta
menganjurkan untuk menelaah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang
dimiliki orang tentang dirinya dan bagaimana mereka menjalankan fungsinya dalam
konteks keluarga, sosial, kultural dan ekologis mereka. Aliran ini
diidentifikasikan bisa menciptakan ilmu yang lebih taat asa, sistematik,
universal, yang dapat diverifikasi secara teoritik dan empirik, yang merupakan
produk asli Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar