Rabu, 03 Mei 2017

Keaslian cinta dalam jiwa

KEASLIAN CINTA DALAM JIWA

Andai Wajahmu dilukiskan oleh pelukis terbaik dunia ini, maka aku akan mendapati wajah palsumu dilukisan itu.
Karena sentuhan tangan terbaik takkan bisa melukismu.

Andai lukisan itu satu-satunya wajahmu di dunia ini, maka aku akan mendapati wajah palsumu dilukisan itu.
Karena perjumpaan kita membuat wajahmu tak bisa disamakan.

Andai aku  hanya bisa memandang lukisan itu, maka aku akan mendapati wajah palsumu dilukisan itu.
Karena aku lebih percaya akan pertemuan kita di dalam mimpi.

Andai aku hanya bisa meraba lukisanmu, maka aku akan mendapati kehadiran palsumu di lukisan itu.
Karena kehadiranmu hanya bisa dirasakan dalam hati.



Yogyakarta, 11 November 2015






Skema Sejarah Psikologi

Skema Sejarah Psikologi
Oleh Sulessana
Dalam garis besarnya, sejarah psikologi dapat dibagi dalam dua tahap utama, yaitu masa sebelum dan sesudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Kedua tahap itu dibatasi oleh berdirinya laboratorium psikologi yang pertama di Leipziq pada tahun 1879 yang didirikan oleh WILHELM WUNDT. Sebelum 1879 itu, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal, karena psikologi masih dibicarakan oleh sarjana-sarjana dari kedua bidang ilmu itu yang kebetulan mempunyai minat terhadap gejala jiwa, tetapi tentu saja penyelidikan-penyelidikan mereka masih terlalu dikaitkan dengan bidang ilmu mereka sendiri saja. Barulah ketika WUNDT berhasil mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig para sarjana mulai meyelidiki gejala-gejala kejiwaan secara lebih sistematis dan obyektif. Metode-metode baru diketemukan untuk mengadakan pembuktian-pembuktian nyata dalam psikologi sehingga lambat laun dapat disusun teori-teori psikologi yang terlepas dari ilmu-ilmu induknya. Sejak masa itu pulalah psikologi mulai bercabang-cabang ke dalam aliran-aliran, karena bertambahnya jumlah sarjana psikologi tentu saja menambah keragaman berpikir dan banyak pikiran-pikiran itu yang tidak dapat disatukan satu sama lain. Karena itulah mereka yang merasa sepemikiran, sependapat, menggabungkan diri dan menyusun suatu aliran tersendiri. Aliran-aliran strukturalisme, fungsionalisme, behaviorisme, humanistik, transpersonal dan sebagainya adalah aliran-aliran yang tumbuh setelah lahirnya laboratorium pertama di Leipzig tersebut.
Minat untuk menyelidiki gejala kejiwaan sudah lama sekali ada di kalangan umat manusia ini. Mula-mula sekali ahli-ahli filsafat dari zaman yunani kunolah yang mulai memikirkan tentang gejala-gejala kejiwaan. Pada waktu itu belum ada pembuktian-pembuktian nyata atau empiris,melainkan segala teori dikemukakan berdasarkan agrumentasi-argumentasi logis (akal) belaka. Dengan kata lain psikologi pada waktu itu merupakan murni bagian dari ilmu-ilmu filsafat. Adapun tokoh-tokoh filsafat yang banyak mengemukakan teori-teori yang identik dengan psikologi antara lain adalah PLATO (427-347 S.M) dan ARISTOTELES (384-322 S.M.).
Berabad-abad kemudian, psikologi belum mengalami perubahan dan masih menjadi bagian dari ilmu filsafat, hal ini terbukti ketika tokoh dari Prancis seperti RENE DESCART (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang kesadaran, dan di Inggris seperti JOHN LOCKE (1623-1704), GEORGE BERKELEY (1685-1753), JAMES MILL (1773-1836), dan anakanya JOHN STUART MILL (1806-1873) yang semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran asosiasionisme.
Disisi lain para sarjana ahli ilmu faal juga mulai menaruh perhatian dan minat pada gejala-gejala kejiwaan.  Mereka melakukan eksperimen-eksperimen dan mengemukakan teori-teori yang kedepanya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan psikologi. Teori-teori yang dikemukakan oleh ahli faal ini berhubungan tentang syaraf-syaraf sensoris dan motoris, pusat-pusat sensoris dan motoris di otak dan hukum-hukum yang mengatur bekerjanya syaraf-syaraf tersebut. Tokoh-tokoh dari ahli faal ini antara lain adalah C.BELL (1774-1842), F.MAGENDIE (1785-1855), J.P.MULLER (1801-1858), P.BROCA (1824-1880) Dan sebagainya. Dalam mengingat tokoh diatas, tentunya seorang tokoh yang perlu diingat yang memiliki peranan penting dalam perkembangan aliran psikologi behaviorisme di Amerika Serikat, seorang tokoh yang berasal dari Rusia yang kita kenal dengan nama I.P.PAVLOV (1849-1936). Selain daripada itu perlu kita kemukakan pula peranan seorang dokter berdarah campuran Inggris-Skotlandia bernama WILLIAM MC DOUGALL (1871-1938) yang memberi inspirasi pula kepada aliran behaviorisme di Amerika Serikat melalui teorinya yang dikenal dengan nama “purposive psychology” (psikologi bertujuan).
Pada waktu para sarjana baik dari bidangilmu faal maupun filsafat sedang menyibukkan diri dengan usaha untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaan secara ilmiah murni, muncul pula orang-orang yang secara spekulatif mencoba menerangkan gejala-gejala kejiwaan dari sisi lain. Salah satu dari mereka adalah F.J.GAAL (1785-1828) Yang mengemukakan teori bahwa jiwa manusia dapat diketahui dengan cara meraba tengkorak kepala orang yang bersangkutan. Teori ini merupaka teori yang bersifat ilmiah semu (pseudoscience) dan dikenal dengan nama “phrenologi”. Selain phrenologi, adapula metode-metode lain yang bersifat ilmiah semu seperti palmistri (ilmu rajah tangan), astrologi (ilmu perbintangan), numerologi (ilmu angka-angka) dan sebagainya.
Tahun 1879 adalah tahun yang perlu dikenang dalam sejarah psikologi. Pada tahun inilah seorang tokoh bernama W.WUNDT (1832-1920) mendirikan laboratorium psikologi pertama di Leipzig yang dianggap sebagai tanda berdirinya psikologi dan terpisahnya dari ilmu induknya yaitu ilmu filsafat dan ilmu faal. Pada tahun ini WUNDT memperkenalkan metode yang digunakan dalam eksperimennya, yang dikenal dengan metode introspeksi. WUNDT kemudian dikenal dengan sebagai seorang penganut strukturalisme karena dia menguraikan teori yang menguraikan struktur (susunan, komposisi) dari jiwa. WUNDT juga dikenal sebagai penganut elementisme, karena dia percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen. Diapun dianggap penganut asosiasionisme, karena dia percaya bahwa asosiasi adalah mekanisme yang terpenting dalam jiwa, yang menghubungakan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk satu struktur kejiwaan yang utuh.
Ajaran-ajaran WUNDT kemudian di bawah ke Amerika oleh E.B.TITCHENER (1867-1927) dan disebarluaskan di sana, tetapi tidak mendapat respon positif karena orang Amerika yang terkenal praktis dan pragmatis itu kurang suka pada teori WUNDT yang dianggap terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara langsung dalam kenyataan. Orang-orang Amerika kemudian membentuk aliran sendiri yang disebut fungsionalisme dengan tokoh-tokohnya antara lain W.JAMES (1842-1910) dan J.M.CATTEL (1866-1944). Aliran fungsionalisme ini lebih mengutamakan fungsi dari jiwa dari pada mempelajari strukturnya. Bukti dari betapa pragmatisnya orang-orang Amerika dapat kita lihat pada ditemukannya teknik evaluasi psikologi (yang sekarang populer dikenal dengan nama:psikotest) oleh J.M.CATTEL.
Sekalipun fungsionalisme sudah menekankan pragmatisme, namun bagi segolongan sarjana Amerika, aliran ini masih tergolong abstrak. Golongan terakhir ini menghendaki agar psikologi hanya memepelajari hal-hal yang objektif, karena itu mereka hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata (dapat dilihat dan diukur) sebagai objek psikologi. Aliran ini dipelopori oleh J.B.WATSON (1878-1958) dan dikembangkan selanjutnya oleh E.C.TOLMAN (1886-1959) dan B.F.SKINNER (1904.....).
Sementara itu di Jerman sendiri ajaran-ajaran WUNDT mulai mendapat kritik-kritik dan kereksi-koreksi. O.KULPE (1862-1915) yang merupakan salah satu murid WUNDT adalah salah satu dari sarjana yang kurang puas dengan ajaran WUNDT dan memisahkan diri dari WUNDT dan mendirikan alirannya sendiri di Wurzburg. Aliran yang dikenal dengan nama Wurzburg ini menolah anggapan WUNDT bahwa berpikir itu selalu berupa “image” (bayangan dalam alam pikiran). Menurut KULPE, pada tingkat berpikir yang lebih tinggi apa yang dipikir itu tidak berupa image. Sehingga KULPE berpendapat bahwa ada pikiran yang tidak terbayangkan.
Reaksi lain terhadap Wundt di Eropa datang dari aliran psikologi Gestalt. Aliran ini menolah ajaran elementisme dari Wundt dan berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya persepsi, karena inilah yang banyak diteliti oleh aliran ini) haruslah dilihat sebagai keseluruhan yang utuh ,yang tidak terpecah-pecah dalam bagian-bagian, harus dilihat sebagai suatu “Gestalt”. Tokoh-tokoh aliran ini adalah M.WERTHEIMER (1880-1943), K.KOFFKA (1886-1941) dan W.KOHWER (1887-1967).

Akhirnya tidak boleh kita lupakan peranan dokter-dokter, khususnya psikiatri dalam perkembangan psikologi. Dokter-dokter ini umumnya tertarik pada penyakit jiwa khususnya psikoneurosis, dan berusaha mencari sebab-sebab penyakit ini untuk mencari teknik penyembuhannya (terapi) yang tepat. Teknik-teknik seperti hipnotisme dan magnetisme akhirnya meyakinkan para dokter ini bahwa dibelakang kesadaran manusia, terdapat kualitas kejiwaan yang lain yang disebut ketidak-sadaran dan justru dalam alam ketidaksadaran itulah terletak berbagai konflik kejiwaan yang menyebabkan penyakit-penyakit kejiwaan. S.FREUD (1856-1939) adalah orang pertama yang secara sistematis kualitas-kualitas kejiwaan itu beserta dinamikanya untuk menerangkan kepribadian orang dan untuk diterapkan dalam teknik psikoterapi dan aliran atau teorinya disebut sebagai psikologi dalam (depth psychology), karena dia tidak hanya berusaha menerangkan segala sesuatu yang nampak dari luar saja, melainkan berusaha menerangkan apa yang terjadi di dalam atau di bawah kesadaran itu. Pengaruh psikoanalisa ini besar sekali terhadap perkembangan psikologi sampai sekarang.

Kritik Terhadap Alat Tes kepribadian

Kritikan Terhadap Alat Tes Kepribadian
Oleh Sulessana
Sebelum abad kesembilan-belas studi tentang tingkah laku manusia hampir sepenuhnya merupakan wewenang para ahli teologi dan para ahli filsafat. Tepatnya pada tahun 1879 melalui laboratorium di Leipzig, Wilhelm Wundt berhasil menerbitkan jurnal pertama dibidang psikologi eksperimental. Pada saat itulah psikologi berhasil keluar dari bagian ilmu filsafat dan menentukan arah keilmuannya sendiri.
Para peneliti saling berlomba dalam menciptakan mazhab psikologi. Di Amerika dikenal tokoh William James yang mengembangkan fungsionalisme, John B. Watson yang mengembangkan Behaviorisme, Psikologi Gestalt didirikan di Jerman,  dan di Wina dikenal dengan psikoanalisis Sigmund Freud
Kajian psikologi diatas, hingga saat ini dikenal dengan sebutan psikologi umum yang berusaha mengungkap fakta-fakta bersifat universal, meski prinsip-prinsip, dan hukum-hukum perilaku manusia, titik awal penelitiannya berbeda. Psikologi umum berusaha berusaha menemukan prinsip-prinsip yang terkontekstual, mekanis, universal dan berasumsi bahwa teori-teori psikologi saat ini bersifat universal (Koch & Leary,1985).
Keuniversalan teori psikologi tenyata mendapat berbagai kritikan. Di Prancis misalnya, Moscovoci (1972) mengatakan bahwa para psikolog Amerika mengadopsi “isu-isu masyarakatnya sendiri untuk tema-tema penelitian dan untuk isi teori-teorinya”. Azuma (1984) mengatakan bahwa pengembangan teori-teori universal terbatas karena para psikolog Amerika tidak dapat memahami fenomena di luar Amerika Serikat: “Ketika seorang psikolog melihat sebuah budaya non-Barat melalui kacamata Barat, ia mengkin tidak mampu melihat aspek-aspek penting budaya non-Barat karena skemata untuk mengenalinya tidak disediakan oleh ilmu pengetahuannya”. Para psikolog Amerika bahkan mengakui bahwa teori-teori dalam psikologi umum merefleksikan nilai-nilai kultural AS (Murphy & Kovach, 1972; Sampson, 1977; Shweder, 1999).
Ditambahkan lagi kritikan terhadap psikologi umum adalah ketika para psikolog belajar di barat dan diajar oleh orang barat, ketika mereka kambali ke negara asalnya, mereka kesulitan dalam mengaplikasikan ilmu yang didapatnya, terkhusu pada aspek validitas, universalitas, dan aplikabilitas teori-teori psikologi (misalnya, Hiroshi Azuma di Jepang, Sang-Chin Choi di Korea, Michael Durojaiye di Nigeria, Virgilio Enriquez dan Alfred Lagmay di Filipina, David Ho dan Chung-Fang Yang di Hong Kong, Bame Nsamenang di Kamerun, Jose Miguel salazar di Venezuela, Durganand Sinha dan Jai B.P. Sinha di India dan Kuo-Shu yang dan Kwang-Kuo Hwang di Taiwan). Para ahli mengatakan bahwa setiap budaya seharusnya dipahami dari kerangka acuannya, termasuk konteks ekologis, historis, filosofis, dan religiusnya.
Teori-teori psikologi yang sudah ada tidak universal karena mereka telah mengeliminasi kualitas-kualitas yang memungkinkan orang untuk memhamai, memprediksi, dan mengontrol lingkungannya.
Terlepas dari teori psikologi yang dikembangkan di Benua Eropa, hingga saat ini benua lain masih mengadopsi beberapa teori tersebut, tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia termasuk negara konsumtif penganut aliran psikologi barat. Hal ini dibuktikan oleh mahasiswa psikologi yang yang dituntut untuk mempelajari beberapa tes psikologi, salah satunya tes kepribadian (BAUM, DAP, HTP , WARTEGG dll). Mereka dituntut untuk menginterpretasikan kepribadian orang lain berdasarkan analisis indikasi yang sangat subjektif. Misalnya pada tes grafis, kepribadian seseorang bisa diketahui hanya melalui gambar, seolah-olah kita dituntut untuk menjadi dukun ataupun peramal yang mengetahui seseorang luar dalam. Tidak bisa menafikkan bahwa subjektifitas bisa saja mendominasi hasil dari observasi. Contoh kasus ketika tester adalah orang yang kita kenal, orang yang berjiwa seni (khusus untuk tas grafis), ataukah orang yang kita sayangi ataupun benci. Aspek-aspek seperti itu yang nantinya menjadikan hasil tes tidak valid. Tapi apa mungkin hasil tes itu mengenal kata valid?
Masih terlalu dini untuk menentukan kepribadian seseorang melalui tes psikologi, ditambah lagi alat yang digunakan adalah produk budaya barat. Bagaimana mungkin mereka (tenaga pendidik) begitu mempercayai dan menuntut mahasiswa untuk mengkonsumsi hal tersebut. Seperti yang dikatakan Elms (1975) bahwa “apakah mereka sedang mengalami sebuah krisis identitas, sebuah krisis paradigmatis, atau sebuah krisis kepercayaan, sebagian besar tampaknya sepakat bahwa krisis itu segera terjadi”, sehingga membuat seluruh kampus di Indonesia terpaksa menjadi penyembah teori-teori barat.  Dimana letak identitas ketimuran kita.

Tidak bisa dipungkiri betapa banyaknya lulusan psikologi yang menyandang gelar Profesor dan Doktor, tetapi masih saja kita menjadi mahasiswa yang mengkonsumsi budaya barat. Tidakkah mereka (ahli) bisa mengusahakan membuat aliran tersendiri yang asli produk budaya kita (Indonesia). Sebuah aliran (kajian) ilmiah yang native (asli) yang tidak ditransportasikan dari wilayah lain, dirancang untuk masyarakatnya, serta menganjurkan untuk menelaah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang dimiliki orang tentang dirinya dan bagaimana mereka menjalankan fungsinya dalam konteks keluarga, sosial, kultural dan ekologis mereka. Aliran ini diidentifikasikan bisa menciptakan ilmu yang lebih taat asa, sistematik, universal, yang dapat diverifikasi secara teoritik dan empirik, yang merupakan produk asli Indonesia.

Neuron Cermin

Neuron Cermin
(Sistem Saraf Kepekaan)
Oleh Sulessana
Lebih baik mana memiliki satu sahabat atau seribu teman?
Lebih baik mengatakan kebenaran meskipun itu pahit atau menutupinya dengan kebohongan demi menjaga perasaan?
Jika saya menjadi kamu, saya akan berprinsip lebih baik berteman dengan seribu orang dan mengatakan kebenaran yang pahit, karena hanya mereka yang menerima pahitnya kebenaran yang layak dijadikan sahabat.
            Yuk simak hal seputar Neuron Cermin.
Pada suatu ketika, saya merencanakan perjalanan kereta api dari Yogyaarta ke Bandung, muncullah pikiran terasing di dalam diri saya, yang tidak megenal siapapun di dalam kereta itu. Singkat cerita saya mendengar pekikan jauh di belakang saya, dari ujung satunya gerbong kereta itu. Spontan, punggung saya menghadap ke arah sumber jeritan itu. Namun, saya berhadapan langsung dengan seorang pria yang wajahnya terlihat agak cemas.
Pikiran saya berkejaran untuk memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang andaikan ada yang harus saya perbuat. Apakah itu perkelahian? Apakah ada orang yang mengamuk di gerbong sebelah? Atau apakah ada orang yang terjatuh dari gerbong? Atau jeritan itu sekedar jeritan senang, barangkali sekelompok remaja sedang kegirangan? Semua itu menjadi pertanyaan besar dalam pikiran saya.
Jawaban dari pertanyaan besar itu saya dapatkan dengan cepat dari wajah pria yang bisa melihat apa yang terjadi; kecemasan segera mereda, ia menjadi tenang dan kembali duduk menyeduh minumannya. Saya pun tiba-tiba menjadi rileks ketika melihat pria itu kembali duduk dengan wajah tenang.
Dalam saat-saat seperti ketika kecemasan melanda saya dengan tiba-tiba di dalam kereta, secara naluriah kita akan memperhatikan wajah orang-orang di sekita kita, wajah pria pertama yang saya lihat tadi menunjukkan kecemasan, karena dia juga tidak mengetahui penyebab teriakan tersebut, dan kamipun menjadi cemas. Disisi lain setelah saya mengarahkan pandangan ke pria yang mengetahui penyebab suata itu, dengan wajahnya yang rileks dan kembali duduk, membuat saya ikut rileks dengan anggapan tidak ada bahaya yang terjadi.
Penjelasan dari cerita diatas, pada zaman prasejarah, sekelompok manusia purba secara bersama-sama tentu memiliki lebih banyak mata dan telinga daripada seorang individu dan hal ini memungkinkan mereka memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dibanding seorang individu sendirian. Dalam bahasa yang mudah dimengerti, melihat seseorang yang menunjukkan mimik perasaannya, bisa membuat kita tersedot masuk ke dalam perasaannya.
Contoh lainnya, ketika seseorang yang senyum dengan anda, secara spontan anda juga akan senyum bukan? Ketika seseorang melihat anda dengan penglihatan sinis, secara spontan anda akan mengkerutkan dahi anda dan merasa tidak senang dengan orang itu bukan? Itulah yang dikatakan sebagai neuron cermin (Giacomo Rizzolatti,ilmuan Italia dalam bidang saraf). Neuron cermin memantulkan kembali tindakan yang kita lihat pada orang lain, membuat kita meniru tindakan atau terdorong untuk melakukan hal itu. Neuro cermin mengingatkan saya kepada pepatah lama “Bila engkau tersenyum, semua orang tersenyum kepadamu”.
Neuron cermin teraktifkan begitu kita mengamati orang lain, misalnya menggaruk atau mengusap air mata. Neuron cermin membuat emosi menular, membiarkan perasaan-perasaan yang kita saksikan mengalir melalui diri kita, membantu kita menjadi selaras dan mengikuti apa yang sedang terjadi.
Keterampilan sosial bergantung pada neuron cermin. Orang yang memiliki neuron cermin yang baik, setidaknya dia akan bersifat luwes, peka terhadap maksud dan tujuan orang lain (yah meskipun sering di php  sih), pendengar yang baik (meskipun dia merasakan kebosanan, tetapi mencoba bertahan dalam kebosanan tersebut), asyik diajak ngobrol, penyayang dan mudah bergaul. Biasanya orang ekstrovert akan lebih mudah mengendalikan dan mengarahkan neuron cerminnya dalam berinteraksi.
Jadi Guys, Semuanya ada ditangan anda.
Selamat berproses menjadi Bunglon Sosial