Minggu, 28 Agustus 2016

Pengertian Psikologi Secara Harfiah


Pengertian Psikologi Secara Harfiah

Oleh  : Ahmad awaluddin aras
(Pecinta Ngobrol Pemikiran)
Sebagai Mahasiswa Psikologi, ketika ditanya, apakah Psikologi itu? Mayoritas diantara mereka masih berpendapat bahwa Psikologi adalah ilmu jiwa. Memang benar jika ditinjau secara harfiah psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu “Psyche” dan “Logos”. Mengenai kata “Logos”, kiranya sudah banyak orang tahu bahwa artinya adalah nalar, logika atau ilmu. Karena itu Psikologi berarti ilmu tentang “Psyche”. Tetapi kemudian, apakah “Psyche” itu?. Nah disini terdapat perbedaan pendapat yang berlarut-larut . Kalau kita periksa “Oxford Dictionary” maka kita akan menemukan banyak arti dalam bahasa inggris yaitu “soul”, “mind”, “Spirit”. Dalam bahasa Inggris dapat dicakup dalam satu kata yaitu “Jiwa”. Karena itulah dalam bahasa Indonesia kebanyakan orang cenderung mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa. Tetapi kecenderungan ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia saja. Kalau kita periksa dalam bahasa Belanda misalnya, maka Psikologi diartikan sebagai “Zielkunde”, dalam bahasa Jerman “Seelekunde”, dalam bahasa Arab “Ilmu-Nafsi” yang semuanya itu tak lain artinya daripada ilmu jiwa.
 Di lain sisi adapula yang menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang tingkahlaku atau perilaku. Jiwa atau tingkahlaku yang dimaksudkan diatas lebih mengkhusus kepada manusia, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa hewan dan tumbuhan juga bertingkahlaku. Kemudian, sebagain orang mengartikan jiwa atau tingkahlaku terbatas pada hal-hal yang merupakan perbuatan sehari-hari seperti makan dan minum, berjalan dan berlari, duduk dan tidur, hingga beribadah, sebagian lainnya mengartikan bahwa para psikologi mampu menggunakan telepati seperti; kemampuan berhubungan dengan makhluk halus, kemampuan membaca pikiran, dan kemampuan membaca masa depan. Karena banyaknya pengertian psikologi yang kita kenal saat ini, maka ada baiknya kalau kita berusaha menelaah lebih mendalam bermacam-macam arti psikologi itu satu per satu.
CARL GUSTAV JUNG, seorang tokoh psikoanalisa dari Switzerland (1875-1961) merupakan salah seorang sarjana yang banyak mencurahkan perhatiannya dan mengorbankan waktunya untuk menyelidiki arti kata Psikologi ditinjau dari segi harfiahnya. Ia mencoba menghubungkan beberapa arti kata, misalnya ia mencoba menghubungkan dengan kata “anemos” dalam bahasa yunani berarti angin sedangkan dalam bahasa latin ia menghubungkan dengan kata :animus dan “anima” yang masing-masing berarti jiwa dan nyawa. Di pihak lain kata Yunani “Psycho” berarti pula meniup. Dalam bahasa arab ia mendapatkan bahwa kata-kata “ruh” dan “rih” masing-masing berarti jiwa atau nyawa dan angin. Dengan demikian ia menduga adanya hubungan antara apa yang bernyawa dengan apa yang bernafas (angin), dan Psikologi jadinya adalah ilmu tentang sesuatu yang bernyawa.
Di dalam bahasa Indonesia kita mengenal ungkapan “menghembuskan nafas penghabisan” yang berarti : mati, tidak lagi bernafas, tidak lagi berjiwa. Jadi jiwa ada hubungannya dengan nafas. Tetapi kita akan segera terlibat dalam kesulitan semantik kalau hendak mempertahankan istilah ilmu jiwa sebagai terjemahan psikologi dalam bahasa kita, karena kita mempunyai banyak kata-kata lain yang sekalipun punya konotasi yang berbeda, tetapi sukar sekali dipisahkan dengan tegas dari kata jiwa, misalnya ; nyawa, sukma, batin dan roh.
Pada saat psikologi masih berada dalam induk filsafat, pengetian psikologi sebagai ilmu jiwa belum terlalu diperdebatkan. Akan tetapi ketika Psikologi memisahkan diri dari filsafat, mulailah timbul kesulitan dalam pendefisian, dengan alasan tuntutan suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri harus mempelajari suatu nyata, padahal untuk membuktikaan jiwa sebagai suatu yang nyata sangatlah tidak memungkinkan, apalagi untuk mengukur dan menghitungnya dengan alat-alat yang objektif.
Untuk mengantisipasi anggapan bahwa psikologi haruslah selalu mempelajari sesuatu yang nyata (konkrit), ada seorang saraja yang menawarkan pengertian psikologi sama dengan karakterologi atau tipologi. Karakterologi adalah ilmu tentang karakter atau sifat kepribadian, dan tipologi adalah ilmu tentang berbagai tipe atau jenis manusia berdasarkan karakternya. Jelas, kedua pengertian diatas merupakan pengertian yang membatasi ruang lingkup psikologi, karena ilmu psikologi tidak sebatas mempelajari hal tersebut.
Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu jiwa, karakterologi atau tipologi, timbul pendefinisian psikologi dengan anggapan bahwa jiwa selalu diekspresikan melalui raga atau badan. Dengan memperlajari ekspresi yang nampak pada kebutuhan seseorang, maka kita akan dapat mengetahui keadaan kejiwaan orang yang bersangkutan. Karena itu psikologi kadang-kadang juga diartikan ilmu ekspresi.
Definisi ini sebagian benar sebagian juga tidak benar. Dikatakan benar bahwa kita bisa mempelajari jiwa manusia melalui ekspresi-ekspresinya, karena dalam pengalaman sehari-hari pun kita bisa membedakan seseorang yang lagi menangis karena bersedih, yang tertawa karena bergembira. Dipihak lain mempelajari jiwa melalui ekspresi juga tidak mungkin, karena ada beberapa perasaan yang tidak bisa terbaca lewat ekspresi, misalnya seseorang yang mendengar berita kematian keluarga, pada saat itu dia tidak menangis, dia malah tersenyum sehingga kita mengira bahwa berita itu tidak berefek untuk dia, padahal setelah berjalan kerumah orang itu tiba-tiba menangis sejadi-jadinya untuk melampiaskan kesedihannya. Selain itu kita juga tahu bahwa satu macam ekspresi dapat mewakili berbagai macam keadaan kejiwaan. Misalnya saja ekspresi senyum. Selain senyum bahagia, kita juga kenal senyum ramah, senyum malu, bahkan senyum sinis. Jadi kesimpulan apakah yang akan kita kemukakan ketika melihat seseorang tersenyum?.
Meski demikian, dengan adanya faktor pergaulan, kita lebih mudah membedakan seorang teman yang lagi senyum karena malu dengan yang senyum karena bahagia dengan melihat tingkahlaku secara menyeluruh. Ketika melihat mukanya menjadi merah atau menjadi pucat, kita amati gerakan tangannya yang menutupi mulut, bisa dipastikan bahwa dia sedang tersenyum malu. Seorang psikologi mencoba mengenal seseorang dengan melihat tingkahlakunya secara keseluruhan. Hingga kita menemukan kesimpulan bahwa pendefinisian psikologi yaitu ilmu yang mempelajari tingkahlaku.
Pengertian tingkahlaku jelas sudah jauh lebih nyata daripada pengertian jiwa. Tingkahlaku dapat dibuktikan secara nyata, dapat diukur dan dihitung secara objektif, dan lebih memnuhi sebagai syarat ilmu pengetahuan. Tidak sampai pada kesimpulan ini, karena bukan hanya cabang ilmu psikologi yang mempelajari tingkahlaku. Sosiologi, antropologi, ekonomi, biologi dan lain sebagainya mempelajari tingkahlaku masing-masing dari sudut pandangnya. Oleh karena itu kita perlu memahami lebih dalam tingkahlaku seperti apa yang dipelajari dalam psikologi.
Tingkahlaku dalam psikologi tidak hanya berarti tingkahlaku nyata itu sendiri (misalnya menangis, tertawa, dan sebagainya), tetapi juga mliputi eksistensi atau perpanjangan dari tingkahlaku nyata tersebut. Misalnya saja orang yang sering tertawa, pasti akan meninggalkan bekas diwajahnya, seseorang yang baru saja marah pasti meninggalkan kerutan didahinya, sehingga kita bisa mengetahui orang itu telah tertawa atau marah dengan melihat wajahnya. Itulah yang disebut perpanjangan dari atau efek permanen dari tingkahlaku.
Suatu prinsip yang mutlak dalam psikologi yaitu bahwa tingkahlaku merupakan ekspresi dari jiwa. Kita dapat membagi ekspresi itu dalam tiga bagian, yaitu :
1.      Ekspresi verbal, yaitu pernyataan keadaan jiwa melalui kata-kata, misalnya seorang wanita yang senyum-senyum sambil melamun, dan ketika ditanya dia berkata bahwa dia sedang jatuh cinta.
2.      Ekspresi grafis, pernyataan melalui lukisan, coretan dan tulisan, misalnya seseorang yang mencoret-coret kertas dengan tekanan yang kuat, menandakan dia sedang marah.
3.      Ekspresi motoris, pernyataan melalui perbuatan, tindakan, gerakan, kadang disebut juga ekspresi kinestesis. Misalnya seseorang yang memukul pintu akibat kecewa.

Rujukan Bacaan : Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Bulan Bintang : Jakarta, 1978).

Rabu, 17 Agustus 2016

KEABUAN


Oleh : Adhetya Cahyani
(Psikologi 2015, Anggota Komunitas Ellips)
Di kala pagi datang
Mentari turut menampakkan diri
Dan Sosok misteri itupun hadir
Dalam untaian cerita klasik
Membawa ku ke alam mimpi
Dan memaksaku tuk menyadari
Semua hal yang telah tersusun rapi

Patutkah ku tuk mengikuti?
Patutkah ku tuk mempercayai?
Seolah diri ini
Seperti hamparan pasir yang terhempas ombak
Yang harus merasakan sakit
Walau diri tak mampu tuk meratapi

Apa gerangan yang ada dalam fikirmu?
Dengan hebatnya kau menyusun alur
Dengan cerdasnya kau mempoles semua dengan pertanyaanmu
Dengan pandainya kau membuatku bertanya tanya
Demi untuk melengkapi bongkahan rasa keabuan itu

Apalah dayaku
Yang hanya mampu memberi ruang
Yang hanya mampu membantu dengan segenap jawabku
Hingga dengan segala kelemahan
Ku terbuai dan menikmati skenario itu

Akhirnya
Hanya ucapan terima kasih yang dapat ku lantunkan
Terima kasih, sudah menjadikanku bagian dari kisah klasik itu.















Senin, 15 Agustus 2016

Belajar Kembali dari Nenek Moyang Untuk Mewujudkan Solidaritas


Oleh : Nita Wahyuni
(Peneliti Sosiologi)

Merenungi kembali kehidupan dalam konteks sejarah. Membaca kembali sejarah masa lampau yang membawa kita dari jaman komunikasi tradisional ke jaman komunikasi modern. Hal ini tidak terlepas dari jasa – jasa nenek moyang kita. Melalui tulisan ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana komunikasi yang baik dan benar sembari menyelami kisah – kisah nenek moyang kita di jaman dahulu dan bagaimana solidaritas itu bisa diwujudkan. Sudah sepantasnya kita belajar dari nenek – nenek moyang kita yang sering dikatakan tradisional itu.
Kita tidak perlu berbangga hati dengan kecanggihan komunikasi di era seperti sekarang ini, karena belum tentu kita mampu menciptakan solidaritas yang kuat antar satu sama lain. Masih ingatkah kita tentang cerita – cerita nenek moyang kita dan bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain? Mereka berjuang dalam keterbatasan dan kesederhanaan akan tetapi tidak lepas dari kesolidan dan kebersamaan.
Komunikasi yang kita jalin sekarang memang bisa di katakan “mendekatkan yang jauh” dan “menjauhkan yang dekat” . Bagaimana tidak, jika kesolidan yang  kita ciptakan dan kita lestarikan merupakan bagian dari kesolidan palsu yang kita tampakkan lewat media komunikasi yang kita anggap canggih. Solidaritas seperti apa yang sekiranya perlu kita unggulkan ketika kita sering kumpul dengan kawan, keluarga, atau bahkan dalam forum malah sibuk dengan media komunikasi yang canggih itu. Tentunya banyak hal yang perlu kita koreksi bersama, semoga melalui tulisan ini kita dapat mengetahui dan menyadari pentingnya solidaritas antar sesama yang dapat di bangun melalui komunikasi dengan media komunikasi apapun.
Komunikasi bukan hanya dimulai dari seratus atau dua ratus tahun yang lalu akan tetapi sudah di mulai sejak manusia masih dikatakan primitive. Meskipun demikian bukan berarti komunikasi yang dilakukan para nenek moyang kita terdahulu itu jauh lebih baik dari jaman sekarang. Mungkin malah bisa di katakan sedikit lebih baik dari mereka jika di tinjau dari beberapa hal. Hal ini bisa dibuktikan misalnya dengan media komunikasi mereka, yang masih bisa kita jumpai dan pelajari  melalui pesan – pesan dan catatan yang dibuat pada waktu itu. Misalnya media komunikasi mereka yang terbuat dari batu atau benda – benda lainnya. Bukankah betapa hebatnya nenek moyang kita yang pada waktu itu berkomunikasi dengan sangat sederhana dan ala kadarnya namun bisa berkomunikasi dengan menembus era yang berbeda.
Pesan dan tulisan yang disampaikan pada waktu itu telah menggambarkan suatu bukti peradabban dan bukti akan adanya suatu ikatan yang kuat tentang kebersamaan dalam kehidupan. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan bukti sejarah merupakan bentuk komunikasi mereka di masa itu dan masih di temukan di masa sekarang. Sekarang manusia juga berada dalam suatu peradaban kehidupan dimana setiap perbuatan dan pencapaian merupakan catatan dan bukti sejarah untuk peradabban selanjutnya. Tanpa kita sadari kita sedang mengukir sejarah kehidupan. Dan tanpa barpikir berlarut - larut manusia membahas tentang sejarah yang akan diukir ditengah kesibukan mereka mengukir sejarah mereka masing - masing. Sekarang saatnya kita membangun solidaritas yang kita rasakan semakin hari semakin berkurang keberadaannya.

Pentingnya Solidaritas
Solidaritas merupakan salah satu konsep kepedulian antar sesama manusia. solidaritas sosial mengarah pada suatu keadaan hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok. Hal ini di dasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat pengalaman emosional bersama.[1]  Sumber dari solidaritas itu sendiri adalah tradisi yang terawat secara rapi dari generasi ke generasi, akan tetapi budaya yang mengawal proses – proses solidaritas itu sendiri tidak ada yang selalu berada pada kondisi statis. Kebudayaan selalu mengalami perubahan atau selalu bergerak secara dinamis. Seakan – akan ketika budaya berubah solidaritas itu semakin pula berubah kearah yang semakin memudar, sehingga munculnya individualis, sikap egoistik, dan terkadang sampai diiringi konflik. Jika seorang individu atau suatu kelompok lebih mementingkan kepentingan dirinya masing - masing maka disinilah indikator lunturnya solidaritas sudah bisa dilihat.
Solidaritas sangat penting untuk diterapkan disetiap lini kehidupan. Jika rasa memiliki yang ditimbulkan dari adanya solidaritas itu sudah tidak ada maka kehancuran suatu peradaban itu pasti akan terjadi. Tidak adnya rasa saling memiliki akan berakibat saling tikam satu sama lain karena perasaan bahwa kita suatu kesatuan  itu berubah menjadi kita beda. Adanya kepercayaan bahwa “Saya bisa hidup tanpa anda!” dapat menghantarkan manusia kearah saling makan antar satu sama lain. Semua ini akan bermuara kepada hak dan kebebasan  akan tetapi jika atas nama kebebasan itu sendiri tanpa disadari telah memukul hak-hak yang harusnya dilindungi. Akan tetapi terkadang karena dalih melindungi hak maka kebebasan seakan – akan terpenjarakan.
Solidaritas tidak menuntut banyak hal, hanya menuntut kita untuk senantiasa mengerti dan merasa memiliki satu sama lain. Ketika hal tersebut mamapu kita ciptakan pasti perdamaian dimanapun dan dalam sektor apapun pasti bisa kita rasakan. Ketika kita berada dalam satu rasa dalam  kepedulian maka tidak akan ada istilah penindasan, ketidaksetaraan, ketidakadilan, ataupun ketidak seimbangan lainnya yang dapat memicu berbagai konflik dalam kehidupan. Dan di saat sekarang ini berbagai sendi - sendi kehidupan sudah mulai mengukur segala kebahagiaan dari sudut materi belaka. Solidaritas terkadang hanya dipandang sebelah mata dan hanya diperlukan di saat kondisi dan situasi tertentu saja. Maka dari itu pentingnya solidaritas sudah sepantasnya untuk disuaraan dan diterapkan.
Di era sebelum menjamurnya globalisasi atau ketika nenek moyang kita masih disebut tradsional, masyarakat masih mengenal yang dinamakan Gotong Royong. Gotong Royong merupakan kerjasama secara sukarela yang selalu dilakukan khususnya oleh masyarakat pedesaan semenjak nenek moyang kita. Gotong Royong merupakan system pengerahan tenaga tambahan di luar kalangan keluarga untuk mengisi kegiatan – kegiatan yang dirasakan berguna bagi pembangunan di lingkungan masyarakat, misalnya mengerjakan lahan pertanian, memperbaiki aliran sungai, memperbaiki pematang sawah, memperbaiki jalur transportasi, menyiangi semak belukar yang mengganggu, kegiatan bersih RW/desa dan sebagainya yang semua itu sangat membantu kehidupan bermasyarakat.[2] Kita sebagai warga Indonesia mempunyai karakteristik solidaritas yang telah diwariskan oleh nenek oyang kita seperti gotong royong tersebut. Dan sudah sewajarnya jika di kehidupan yang modern ini kita tetap menggunakan dasar – dasar solidaritas dalam bermasyarakat. Nenek moyang kita bukan orang – orang yang ahli teknologi dan informasi seperti sekarang ini. Akan tetapi kita yang dikatakan ahli teknologi dan komunikasi disini malah kurang memiliki solidaritas.
Memanfaatkan teknologi dan komunikasi di era modern, bukanlah hal yang salah. Akan tetapi harus ada penambahan nilai didalamnya yaitu orientasi kebermanfaatan untuk diri sendiri dan orang lain oleh karena itu lengkap sudahlah kecanggihan jaman kita jika dibanding jaman nenek moyang kita. Kita boleh mengejar materi dan kita boleh mengejar kebahagiaan, dan ada kalanya kita juga punya kepentingan pribadi namun bukan berarti kita harus meninggalkan solidaritas antar sesama. Kita diciptakan dan hidup bukan untuk sendiri di dunia atau menikmati semua yang ada di dunia hanya dengan orang – orang yang kita kehendaki. Akan tetapi Tuhan juga menciptakan manusia lain yang wajib untuk kita sayangi pula. Konsep solidaritas sendiri juga tidak tertujukan untuk suatu golongan, kaum, suku, atau kelompok tertentu melainkan setiap kita yang dikatakan hidup bermasyarakat, bernegara, dan bertanah air.  

Pondasi Solidaritas
            Komunikasi adalah pondasi awal dari terciptanya solidaritas. Tanpa komunikasi seseorang untuk memulai mengenal seseorang di lingkungannya baik masyarakat ataupun lingkungan lainnya akan kesulitan. Sekarang bukan saatnya berkomunikasi yang harus face to face seperti jaman nenek moyang kita lagi, karena cukup dengan kecanggihan media komunikasi yang ada kita bisa dengan mudah terhubung dengan siapapun yang ingin kita ajak berkomunikasi. Karena komunikasi merupakan suatu hal yang peting dan sangat berpengaruh, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan komunikasi harus diperhatikan sebaik mungkin. Hal ini berkaitan dengan siapa yang kita ajak berkomunikasi, apa yang disampaikan saat berkomunikasi, sampai sikap dan etika kita saat berkomunikasi. Hal – hal semacam ini yang nantinya akan sangat berpengaruh terhadap respon atau timbal balik dari lawan komunikasi kita, sekaligus menggambarkan seperti apa kita sesuai penafsiran mereka dengan cara kita berkomunikasi.
            Komunikasi yang baik dan berkomunikasi yang baik sekilas terlihat sama namun pada dasarnya suatu hal yang berbeda, dan kedua – duanya sangat dibutuhkan dalam terciptanya suatu solidaritas. Komunikasi yang baik merupakan cara kita untuk tetap menjaga suatu hubungan agar tidak ada keretakan atau saling mencari satu sama lain. Sedangkan berkomunikasi yang baik itu sendiri adalah suatu cara berkomunikasi yang seharusnya dilakukan seseorang kepada yang lain agar tidak terjadi penafsiran – penafsiran lain dari lawan komunikasi yang tidak kita ingginkan. Analogi istilah kesan pertama mungkin lebih cocok untuk menggambarkan betapa pentingnya komunikasi.
            Pondasi solidaritas yang kedua yaitu rasa sayang. Menciptakan rasa sayang itu bukan hal yang mudah, dan kita perlu memahami pertanyaan “Ingginkah kita disayanggi?” dan jagan harap kita bisa disayangi jika kita menyayangi orang lain saja sulit. Hal pertama yang perlu diperkuat dari pondasi solidaritas yaitu menumbuhkan rasa sayang. Di ibaratkan pondasi solidaritas ini sebuah pondasi atau bagian dari suatu dasar bangunan, dimana ketika pondasi dibagun dengan kuat maka bangunan itu akan ikut kuat dan kokoh. Akan tetapi ketika pondasi ini dibangun hanya sesukanya tanpa kesungguhan dan keseriusan maka bangunan itu sewaktu - waktu dapat roboh dan hancur dengan sendirinya. Setelah kita mampu menciptakan rasa saling menyayangi, perkuat rasa sayang itu dan terapkan dalam kehidupan sehari - hari. Meskipun kita berbeda suku, budaya, agama, bahkan berbeda negara sekalipun, bukan alasan untuk kita tidak menyayangi atau memilih untuk lebih menumbuhkan rasa benci.
             Pondasi solidaritas yang ketiga yaitu adanya rasa saling menghargai. Menghargai bukan berarti kita harus selalu memberikan apresiasi dan hadiah kepada orang lain akan tetapi keadaan dimana kita mampu menempatkan orang lain seolah – olah menempatkan diri kita sendiri, sudah termasuk menghargai orang lain. Menghormati, memberikan hak – hak orang lain juga merupakan dari wujud adanya rasa menghargai orang lain. Sedangkan untuk menuju terbentuknya solidaritas maka hal tersebut tidak cukup hanya di wujudkan oleh satu pihak atau sebagian pihak akan tetapi semua pihak yang terkait harus menyadari dan menerapkan rasa saling menghargai satu sama lain. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada yang merasa di sepelekan atau merasa tidak dianggap keberadaannya. Alhasil ketika kita sudah mampu untuk saling menghargai satu sama lain, jalinan solidaritas itu bukan hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan.
            Pondasi solidaritas yang terakhir atau yang ke-empat adalah merasa membutuhkan dan dibutuhkan. Merasa membutuhkan inilah yang sering mendasari seseorang untuk terus berhubungan dengan orang lain. Tanpa disadari jika kita selalu merasa membutuhkan tersebut seakan - akan kita menjadi manusia yang menderita ketergantungan kronis. Pada dasarnya kita juga punya kemampuan yang bisa orang lain butuhkan juga. Permasalahan ini berlaku untuk dimanapun kita ingin membangun solidaritas baik dalam keluarga, persahabatan, masyarakat, organisasi, didalam suatu kelembagaan, atau dimanapun kita hidup bermasyarakat. Konsep ketergantungan disini harus dirubah dengan konsep manfaat. Konsep manfaat yaitu suatu konsep dimana kita tidak hanya berorientasi pada manfaat apa yang bisa kita dapatkan dari pihak lain akan tetapi manfaat apa juga yang bisa kita berikan kepada orang lain.  Ketika kita bisa saling memberi manfaat maka perasaan saling membutuhkan dan dibutuhkan itu akan muncul dengan sendirinya.
            Ketergantungan yang dimaksud disini akan berbeda ketika konsep dan cara berpikir kita telah kita rubah dengan konsep saling memberi manfaat. Kita akan bergantung dengan orang lain akan tetapi mereka juga akan bergantung pada kita dan disinilah titik solidaritas itu akan ditemui. Kita akan mulai sering bertanya kabar, merasa kehilangan saat kita berada dalam rentang jarak yang jauh dan waktu yang lama. Kita disini bukan hanya tokoh pelengkap atau tokoh figuran akan tetapi kita sama -  sama sebagai tokoh utama yang memegang peran yang sama - sama penting pula. Dalam rangka menciptakan solidaritas yang sesungguhnya, rasa kehilangan saat ditinggalkan itu merupakan suatu hal yang wajar. Sehingga ini bisa dikatakan sebagai dampak dari adanya rasa solidaritas yang tinggi antara kita.
           
            Bangunan Solidaritas
            Bangunan solidaritas yang akan kita bangun maupun yang telah pembaca bangun setidaknya menjadi bangunan yang kokoh dan tahan akan semua ancaman dan terpaan bencana, yang sewaktu – waktu dapat menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. Betapa indahnya negeri Indonesia tercinta ini jika disetiap elemen dan lapisan masyarakatnya senantasa mengembangkan dan menjunjung tinggi solidaritas antar sesama. Segala macam bentuk konflik dan penindasan mungkin juga tidak akan pernah terjadi jika kita selalu mengedepan kan solidaritas antar sesama manusia tanpa kita mementingkan dan mengutamakan ego kita masing – masing. Kembali berkaca dengan kehidupan Nenek Moyang kita yang hidup rukun bertetangga dan bermasyarakat, pastinya hal serupa juga ingin dirasakan setiap masyarakat dan tidak terkecuali masyarakat yang di katakana modern seperti sekarang.
            Solidaritas dapat terbentuk bukan hanya dari satu pihak akan tetapi perlunya kerjasama antar pihak untuk mewujudkannya.dan melalui pemaparan yang penulis sampaikan diharapkan solidaritas itu bukan hanya dijadikan sebagai suatu wacana atau rencana yang belum jelas pembuktiannya. Realisasi setidaknya dapat dicontoh dari beberapa bentuk solidaritas para Nenek Moyang kita, bahwasannya kita harus sadar bahwa kita hidup di alam dunia ini selalu membutuhkan orang lain dan kita pun pada dasarnya dibutuhkan pula oleh orang lain. Perlu adanya perubahan dalam pandangan dan pikiran kita bahwa kita hidup selalu membutuhkan orang lain. Dan sekiranya solidaritas itu merupakan suatu jawaban yang tepat akan suatu permasalahan maka solidaritas dihadirkan juga dapat berperan sebagai solusi bersama.





REFERENSI:
Nasution Zulkarnain, 2009, Solidaritas Sosial dan Partisipasi Masyarakat  Desa
            Transisi (Suatu Tinjauan Sosiologi), Malang: UMM Press, Cet I

Sobrino Jon dan Juan Hernandes Pico, 1988, Teologi Solidaritas, Yogyakarta:
            Penerbit Kanisius.





[1] Nasution Zulkarnain, solidaritas Sosial dan Partisipasi Masyarakat Desa Transisi (Suatu Tinjauan Sosiologi), ( Malang, UMM Press: 2009), Cet 1, Halm 11
[2] Nasution Zulkarnain, Ibid, Halm V-VI

Minggu, 14 Agustus 2016

Teruntuk SIA Pusat Perhatian Ribuan Mahasiswa UIN



Oleh : Ahmad Awaluddin Aras
(Pecinta Ngobrol Pemikiran)
ANDA ajarkan kami untuk patuh terhadap aturan, tapi ANDA dengan mudahnya menodahi dengan alasan anggaran.
ANDA ajarkan kami untuk menjaga perasaan, tapi apakah ANDA lupa penantian kami di warnet, mata yang setiap detik memandangi layar laptop, kegigihan kami untuk saling membantu? ANDA nodahi dengan kata Maaf.
Apakah ANDA sadar? ANDA selalu ada dalam pikiran kami, bahkan waktu liburan, kami sediakan untuk melihat perkembangan ANDA.
ANDA adalah anak kecil, yang menolak apa yang diseduhkan, entah itu dari kuota Telkomsel, Indosat, bahkan warnet.
Sadarkah jika kami menyuapi ANDA dengan ikhlas? Menunggu ANDA membuka pintu, bahkan rasa kesal, benci yang terucap tak kami perdengarkan untuk ANDA.
Belum cukupkah semua ini untuk mendewasakan ANDA?
Belum cukupkah semua ini untuk mendapat perhatian kami?
Kami bisa menolak kekecewaan, tapi tak bisa menolak lupa

Editor : Sulessana

Sabtu, 13 Agustus 2016

4 Kata Ajaib

4 Kata Ajaib
Oleh : Dzikria
(Peneliti Psikologi, Anggota Komunitas Ellips)

Klo ditanya apa yang kalian inget dari masa kecil kalian, mungkin beberapa ada yang jawab tentang peristiwa jatuh. Entah itu karena lagi main atau belajar sepeda. Ada yang inget diajak sama orangtua ke suatu tempat. Ada juga yang inget tentang perbuatan nakal di masa kanak-kanak? Tetapi, klo pertanyaan itu diajukan ke aku, entah kenapa aku akan menjawab “4 kata ajaib”. Mungkin beberapa kalian udah pernah denger atau beberapa ada yang tau tentang 4 kata ajaib. 4 kata ajaib itu adalah permisi, maaf, tolong dan terimakasih. Aku sendiri lupa dapet istilah 4 kata ajaib itu dari mana, kalau ga salah sih dari buku, cuma ada kalimat yang bilang gini – entah dari buku atau ada orang yang bilang ke aku—ada mantra ajaib supaya seluruh orang dunia sayang dan menyukaimu, ucapkanlah 4 kata ajaib dimanapun kamu berada dan dengan siapa pun--- tetapi, waktu aku masih kecil nggak ngeh aja sama apa yang namanya 4 kata ajaib. Seingetku cuma sering ngucapin yang terimakasih dan tolong.
            Ada rasa syukur tersendiri ketika masih kanak aku sudah tau apa itu 4 kata ajaib yang jujur itu berefek sampai aku berumur dewasa seperti sekarang ini. Rahasia kita aja yaa, aku sebenarnya tipe orang yang gengsi amat sangat yang namanya bilang maaf. Tapi, bukan brarti aku gabisa bilang maaf sama sekali, klo jelas banget aku yang salah dan tanpa dimaki sebelumnya. Tanpa gengsi aku jelas akan minta maaf. Pun dengan terimakasih. Ngerasa ada yang kurang, ngerasa ada yang ganjel klo aku habis minta tolong atau ngerepotin orang tanpa ditutup dengan ucapan terimakasih. Secara mungkin kita pas minta tolong sebenernya orang keberatan atau lagi diburu sesuatu tapi, masih sempet untuk nolong kita. Atau aku nih, tipe orang yang mulutnya betah ngoceh lama dan cerita sana sini.. mungkin ada orang yang bosen atau bete banget dengerinnya tapi, mereka masih bertahan dengan segenap jiwa dan raga nahan tangan supaya nggak nampol mulutku dan setia mendengarkan hingga tetes terakhir. Who knows tentang perasaan orang lain ketika. 4 kata ajaib bisa jadi cara mujarab untuk mengatasih hal-hal yang tak diinginkan.
            Tetapi setelah beranjak gede gini dari segi umur ---soalnya badanku yang sebenernya kayak anak SMP--- mulai ngerasa ada efek samping dari penggunaan 4 kata ajaib. Efek sampingnya adalah aku jadi gasuka sama orang yang gabisa ngehargain kerjaan orang atau hal yang udah dilakukan orang lain kayak nolongin, ngasih info dan lain-lain.Udah ditolongin gabilang makasih lagi! Sering kali ya kalian dengerin itu? Udah nggak asing lah yaa tapi, yaa bukan brarti terus kita jadi nolong pamrih gitu, bukan gitu maksudnya. Karena gini, buat aku pribadi lebih baik gabilang terimakasih tapi, diem daripada gabilang terimakasih terus mulutnya nyinyir komat-kamit terus protes sana sini. Gabilang terimakasih, tapi ngomen hasil nyapuku gabersih padahal Anda aja dari tadi mainan hp. Gabilang terimakasih, tapi bilang kok gue gapernah diajak bla bla padahal sini pita suaranya udah mau putus ngajakin lo makanlah, pergilah tapi alesannya sibuk dan kuping sumpel headset denger musik hardrock. Kan bete. Kan sebel. Kan badmood. Soalnya gini nih, sumpah beneran deh lebih baik diem aja, gausah bilang terimakasih atau apapun itu jaaaaaaauuuuuuuhhhhhh lebih baik dan menghargai banget daripada setelah ditolong atau dibantuin nyolot gajelas dan pake nada tinggi. Hu hah banget tau gasih!
Maaf tadi udah dibahas, terimakasih juga udah. Nah, sekarang tolong. Buat aku pribadi kata tolong itu kyk orang yang udah puasa seharian terus minum air. Hausnya tuh plong gitu aja langsung ilang! Pun dengan penggunaan kata tolong. Mau gamau, gausah dusta yaa kadang ada kan yaa orang minta tolong disaat kita lagi males gerak atau ngapa-ngapain. Akhirnya, kita nolongnya jadi setengah-setengah kan berarti pahalanya jangan-jangan dapet setengah juga. Rugi ga sih? Tapi, itu semua ga akan terjadi ketika ada yang minta tolong ketika kita lagi males gerak dan ngapa-ngapain tetapi bilang tolong. Mbulet yaa? Gini nih, eh tolong dong nitip sampahku ntar sekalian dibuangin yaa? Adem kan yaa dengernya? Daripada, nitip sampah ya ntar buangin. Sini bukan tukang sampah halo. Terakhir tentang permisi. Mungkin budaya bilang permisi masih agak sedikit penggunaannya. Sebenarnya selain digunakan untuk bilang waktu mau lewat di depan orang yang lebih tua, permisi juga bisa dipake waktu di awal kalimat klo kita mau tanya denah atau tempat seseorang mungkin yaa?

Aku nulis ini bukan berarti terus udah jadi master of 4 kata ajaib. Bukanlah! Aku juga masih belajar kok. Masih sering lupa dan rese juga jadi orang. Tapi, nggak ada salahnya kita bertekad untuk menjadi orang yang kehadiran kita membuat nyaman orang lain. Minimal tidak membuat masalah dan membuat sebal orang lain. Kita belajar bareng yaa? Masing-masing dari kita jadi agen campaign 4 kata ajaib. Dunia indah banget kayaknya klo semua orang bisa nerapin 4 kata ajaib. Ya nggak sih?

Editor : Sulessana
Zee Luminous

Buat Apasih Belajar Psikologi? Teori VS Manfaat

Buat Apa Belajar Ilmu Psikologi? Teori (Fungsi) VS Manfaat (Pengalaman Pribadi)
             Oleh : Abdu Alifah
      (Peneliti Psikologi, Kader HMI)

Manfaat belajar ilmu psikologi itu apaan sih? Buat apa sih?Emangnya kalau kita belajar ilmu psikologi nanti bisa apa? Biar bisa ngelamar? (ngeramal woy bukan ngelamar!) Biar bisa baca pikiran orang? Emangnya dukun!Biar bisa ngehipnotis? Ahaha kayak uye kuye dong? Atau biar nanti bisa jadi tempat curhat orang2? Weh, punya jiwa sosial keren juga tuh. Atau biar bisa jadi motivator? Keren sih. atau biar jadi HRD? Ah, sebenernya apapun tujuannya lu belajar psikologi, itu sah-sah aja asalkan baik dan tetap berada dijalan yang lurus. Yang jelas, bukan itu yang pengen gua bahas.

Sekarang, gua pengen bahas soal buat apa sih kita belajar ilmu psikologi menurut teori dan menurut gua. Lho emangnya beda ya, om? Ya enggak bisa disebut beda juga sih. Dan gua juga gak niat buat menentang teori-teori yang udah ada, lagian pasti kalian lebih percaya teori-teori yang udah ada kan dari pada gue? Haha jelaslah, teori-teori di buku kan yang bikin tokoh-tokoh keren semua, lah gua mah apa atuh hiks. Nanti lu bakal tau sendiri bedanya dimana.
Langsung aja nih kita bahas. Apa buat apa belajar ilmu psikologi versi teori? Hmm.. gak ada! Lah??? terus? Ya emang gak ada teorinya haha. Jadi begini, apa yang lu dapat adalah apa yang lu pelajarin. Setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda, pengalaman yang berbeda dan respon yang berbeda ketika menyerap sesuatu. Jadi, saat ribuan orang belajar tentang satu hal yang sama akan memberikan ribuan respon dan dampak yang berbeda. It’s why human is the unic one! nah jadi gak ada teori ya gaes. Karena apapun yang kita pelajari, apapun yang kita dapat itu tergantung diri kita.
Tapi eits, jangan kecewa dulu. Sebenernya ada sih ada. Tapi ini lebih ke ‘fungsi’-nya psikologi sebagi ilmu. Beda ya fungsi dan manfaat. Bedanya apa? Tipis sih. Kalau fungsi itu : digunakan untuk apa, buat apa. Kalau manfaat itu dampak (positif) dari penggunaan itu.  Udah paham ya bedanya fungsi dan manfaat. Nah inilah yang pengen gua bahas, gua bakal kasih tau apa fungsi psikologi secara teoritis dan apa manfaat belajar psikologi versi pengalaman gue sendiri. Itu perbedanya.
Fungsi Ilmu Psikologi : Psikologi sebagai ilmu
Karena psikologi itu adalah ilmu yang bersifat ilmiah (science), maka tentu saja psikologi punya peranan tertentu sebagai ilmu pengetahuan. Psikologi mempunyai empat fungsi, yaitu.
1.                 To describe
Tau artinya? Nah bener, untuk menggambarkan ataupun mendeskripsikan. Jadi fungsi pertama psikologi adalah untuk mendeskripsikan tingkah laku manusia. Contoh. Mendekripsikan tingkah laku orang homoseksual. Homoseksual itu apa sih? Homoseksual itu orang yang suka sama sesama jenis. Kalau yang cowok suka sama cewok disebut gay kalau yang cewek suka sama cewek disebut lesbi. 
2.                 To undestand
Udah tau kan artinya, yups untuk memahami. Tapi memahami disini tuh bukan memahami cewek ya (soalnya cewe susah dipahami wkwk) tapi memahami dalam artian memahami sebab akibat, atau hubungan dari perilaku manisua. Contoh, ih kok bisa sih mereka jadi homo? Hmm.. itu disebabkan beberapa hal, misal, mereka tinggal cuman sama ibunya, jadi terlalu lengket sama ibu sehingga sisi feminimnya jadi dominan. Atau ada juga orang tuanya sejak lahir pengen punya anak dengan jenis kelamin yang berbeda. Makanya dia diperlakukan gak semestinya, cowok diperlakukan kayak cewek dan sebaliknya. Dan banyak macem lagi sebab-sebanya yang bisa bikin seseorang jadi homo seksual.
3.                 To predice
Nah ini mungkin yang kalian pikir kita ini kayak dukun-dukun! Bisa nerawang, bisa ngeramal. Sebenernya gak salah juga sih anggapan kalian, kita emang belajar memprediski. Gua kira ngeramal sama mempersiksi gak jauh beda ya, dalam artian kan sama-sama menerka-nerka apa yang akan terjadi kemudian. Ya bedanya mungkin dari metodenya aja kali ya, ya kalau kita pake metode ilmiah, mulai dari cari data dari berbagai macam sumber (triangulasi), analisis data, dll sampe kemudian kita menyimpulkan prediksi tersebut. Kalau dukun gua juga gak tau metodenya gimana, lagian kan gua bukan dukun. Untuk yang ini gak perlu gua kasih contoh lah ya, udah paham kan? Haha.
4.                 To control
Nah yaang terakhir itu buat mengontrol atau mengendalikan. Mengendaikan apa? Mengendalikan tingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan agar kita bisa melakukan pencegahan (prevensi), perlakuan (intervensi) atau pun perawatan (rehabilitasi). Contoh, kita perlu mencegah perilaku A biar prilaku homoseksual gak semakin banyak! Gitu gaes.
Manfaat Belajar Ilmu Psikologi : pengalaman pribadi
Nah sekarang gua mau berbagi pengalaman gue tentang manfaat belajar ilmu psikologi. Karena ini didasarkan sama pengalaman pribadi jadi mungkin gua tulis apa yang benar-benar gua rasain aja ya gaes. Kalau ada yang pengalaman lain silahkan dishare buat berbagi hehe. Cekidot!
1.     Mengenal diri sindiri dengan baik Semenjak gua belajar psikologi, gua jadi lebih mengenal diri gue sendiri. Kukan semata gua doang, tapi ‘diri sendiri’. Itu maknanya dalem men, dalem banget. Gue jadi tau potensi gue, kelebihan gue, kekurangan gue, bagia mana dalam diri gua yang perlu dikembangkan dan diperbaiki. Lu tau kenapa bisa begitu? Soalnya kita anak psikologi, pasti selalu dikasih tugas buat refeleksi diri sendiri. gua suka banget tugas begini. Karena semakin banyak gua merefleksi diri, semakin gua dapat mengenal diri sendiri.
2.     Gak gampang nge-judge! Gue bersyukur banget bisa belajar psikologi. Banyak banet perubahan diri gue dari sebelumnya. Gue yang dulu gampang banget nge-judge orang bahkan kalau itu cuman omongan gosip doang, sekarang gua bersyukur malah dapat lebih memahami orang lain. gau bisa ngerti kenapa orang seperti itu, berbuat demikian. Lu tau kenapa, karena kita anak psikologi belajar semua prilaku manusia dari berbagai aspek dan latar. Kita belajar psikologi lingkungan, perkembangan, lintas budaya, indigiouse psychology dan sebagainya. Itu semua bikin kita tahu bahwa manusia itu potensinya gak tebatas.
3.     Menjadi lebih peka (empati) Insting ke-peka-an gua dilatih di dunia psikologi. Gua dituntut buat selalu merhatiin, menganalisa, bahkan sotak-sotakan memprediksi setiap tingkah laku yang ada di sekitar gua. Entah kenapa, sekarang gua selalu begitu setiap kali lihat tingkah laku orang, dimana pun dan kapanpun. Gua selalu nerka-nerka (dan sebenernya seneng kalau bener haha). Alhasil, gua jadi peka banget sekarang. Bukan lembek ya, peka. Beda lho (bukan pekka di COC juga ya -_-). Gua sekarang gampang paham, bahkan tanpa orang itu bilang. Gua seakan paham gitu. Entahlah, mungkin jiwa-jiwa psikolog gue mulau tumbuh haha.
4.     Mempertimbang dengan matang sesuatu yang ingin dilakukan Yang ini sebenrnya gua gak baik atau buruk sih. Tapi menurut pribadi gue sendiri sih baik, soalnya dulu gua orangnya gak sopan banget, ngomong asal ceplos, gaya slonong boy, gak peduli orang bilang apa. Nah itu semua berubah drastis semenjak gua jadi anak psikolog. Lu tau kenapa? Soalnya kita jadi makin peka, makin tahu apa yang akan terjadi kalau kita berbuat A makan respon yang ditimbulkan oleh orang-orang sekitar jadi A. Lingkungan adalah refleksi diri kita, men. Dan sebaliknya. Maka, jadilah sekarang gua kalau mau ngapa-ngapain banyak pertimbangannya. Tapi dampak buruknya, gua jadi suka plin-plan gitu, susah buat mutusin sesuatu karena banyak pertimbangan. Termasuk mutusin pacar (padahal jomblo).
Mungkin itu aja sih yang bisa gua share kali ini, kalau nanti gua ngerasain manfaat lain dari belajar psikologi bakal gua kasih tau. Oke, cukup sekian. Terimakasih udah baca tulisan gue. Big Thanks!

Editor : Sulessana

Jumat, 12 Agustus 2016

Dilematik Budaya Membaca (Antara Tugas dan Intelektualitas)

Budaya Yang Menciptakan Diri Atau Diri Yang Menciptakan Budaya Atau Bahkan Budaya Dan Diri Saling Membangun.
Oleh : Kader HMI

Salam intelektual para pembaca sekalian.
Entah kalian dari program studi Psikologi, Ilmu Komunikasi ataupun sosiologi, bacaan ini untuk kalian yang sangat haus akan tugas, minim akan wawasan luas, takut dengan dosen dan takut akan ipk rendah.

Ini juga untuk kalian para aktivis yang haus akan kritikan, menjunjung tinggi kualitas dibanding kuantitas, haus akan wawasan sosial, berjiwa besar, dan menganggap kuliah sebagai ajang pengembangan bakat.

Jika dilihat secara saksama ternyata difakultas kita tercinta, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora memiliki budaya yang sangat mengikat mereka para aktivis, dan membahagiakan mereka para akademisi.

Bayangkan saja kalian selalu disuduhi kopi, teh, dan susu.,. eh maksud saya tugas, penelitian, tugas, penelitian, tugas dan wawancara. Hingga akhirnya kita lupa bahwa kita harus mengasah bakat yang kita miliki. Kita lupa bahwa kita bukanlah robot yang disediakan untuk sekedar menjadi pendidik, kita lupa bahwa kita adalah generasi penyelamat moral bangsa, penerus tonggak kepemimpinan negara Indonesia.

Budaya seperti ini mungkin bisa dikatakan budaya membaca, membaca tulisan dosen, membaca jurnal tugas, membaca internet, mengkopas makalah orang lain kalau bahasa gaulnya pelagiat, dan hanya terbatas membaca buku pada konsentrasi masing-masing.
Kapan kalian melihat mahasiswa psikologi dan ilmu komunikasi membaca teorinya karlmark, max weber dan Ritzer? Kapan kalian melihat mahasiswa sosiologi membaca buku tebal psikologi yang berjudul abnormalitas? Padahal ketiganya berada dalam satu lingkungan fakultas, yang seakan tidak saling mengenal. Bahkan pernahkah kalian membaca buku pramoedya anantatoer seperti tetralogi buru (bumi manusia, anak semua bangsa, Jejak langkah, rumah kaca), gadis pantai, jalan raya pos jalan daendels, perawan remaja dalam cengkeraman militer dan max havelaar?  Jarang kawan,.,

Sungguh miris wawasan intelektual kita, waktu kita dihabiskan untuk tugas, penelitian dan wawancara. Sadarkah kita bahwa kita telah dijadikan pabrik sebagai pencipta produk yang siap jual. Ada yang terjual sebagai guru, dosen, penyiar, sosiolog, psikolog, dan tidak menutup kemungkinan menjadi produk gagal.
Bayangkan begitu banyak jurusan yang sama diseluruh kampus Indonesia, dan pasti salah satu atau salah duanya menjadi produk gagal. Wauuu sia-sialah nanti investasi orang tua kita.

Tapi yakinlah usaha sampai, bahwa setiap proses pasti menemukan ujung kebahagiaannya, tinggal cara kita mencari ujung tersebut. Ada yang mencarinya dengan memperbanyak pengetahuan, tidak sekedar pengetahuan dibidangnya, ada yang fokus dengan ipk tinggi dan cumlaude, adapula yang aktif berorganisasi dengan membangun jaringan sembari mengasah nalar kritisnya.

Oh iya, ngomong-ngomong soal organisasi, utamanya di UIN SUNAN KALIJAGA, ada loh organisasi yang lahir tahun 1947 dan dikenal hingga sekarang. Organisasi itu dikenal dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI ini mempunya tujuan yang sangat sejalan dengan kebutuhan Indonesia, yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala”.

Wah keren banget kan??? Bayangkan saja selain wawasan luas organisasi ini begitu sejalan dengan syariat islam dan berdiri diatas semua golongan. Apapun yang kita lakukan harus selalu sejalan dengan agama Islam, menjadi orang islam jangan hanya status KTP, dan menerima ajarannya begitu saja. Kita harus memiliki intelektualitas (pengetahuan tentang islam secara mendalam), dan yang paling penting ilmu yang kita dapatkan nanti harus bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa,,.,
Yakin Usaha Sampai.


.-KAMI TUNGGU KEDATANGAN ANDA DI ORGANISASIS KAMI TERCINTA, HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM UIN SUNAN KALIJAGA. KAMI TIDAK BISA MEMBERI, KARENA KALIANLAH YANG MENCARI, TAPI SEKALI KITA PERNAH MENGENAL, MAKA TIDAK ADA BATAS UNTUK SALING MENOLONG.-