Libur Dosen bertambah, Kebijakan Prodi
atau Individu
Oleh Sulessana
Sesuai jadwal perkuliahan yang
disepakati pihak birokrasi, bahwa perkuliahan dimulai Senin, 13 Februari 2017. Entah
kebijakan apa yang terjadi, entah kebijakan prodi atau kebijakan individu yang
membuat beberapa dosen kami (Psikologi 2014) belum melakukan proses
pembelajaran di minggu ini, terhitung sejak Senin, 13 Februari 2017 hingga
pekan depan, 20 Februari 2017. Dengan bahasa diplomasi yang mengatakan “kuliah
dimulai minggu depan yah, tolong sampaikan ke teman-temannya”, dan kamipun
tabah, bersemangat dan terlihat sangat antusias liburan ditambah. Siapakah yang
tidak senang dengan hal demikian? Kebanyakan dari kita pasti senang, bisa
melanjutnya bercengkrama dengan sanak keluarga. Tapi pernah terfikir perasaan
beberapa kawan kita yang pendatang? Mereka datang dari jauh, memutuskan kembali
ke jogja, menghentikan sejenak kebahagiaan bersama keluarga agar ontime masuk kuliah?
Dan ternyata sampai dikampus, eh malah liburan ditambah. Nyesek ngk sih?
Beberapa isu berkembang yang kebenarannya relatif,
mengatakan bahwa beberapa dosen masih berada di Jakarta, hanya beberapa
diantara mereka yang standby di kampus, masih memiliki kesibukan dan lain
sebagainya. Berharap saja karena kepentingan prodi, semoga saya jika di Jakarta
bukan untuk memenangkan salah satu paslon (Pasangan Calon), yang hari ini resmi
dilakukannya putaran kedua, akibat tidak adanya suara yang mencapai 50%+1.
Mengutip salah satu bunyi peraturan
menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi tentang perubahan atas
peraturan menteri riset, teknologi dan pendidikan tinggi nomor 26 tahun 2015
tentang registrasi pendidik pada perguruan tinggi dalam pasal 1 nomor 1 “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuan
dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat”. Berdasar teks diatas, tidak ada yang membatasi dosen untuk
menambah libur, dosen tidak terikat untuk masuk teapt waktu, karena kesemuanya
itu diatur dalam kebijakan prodi masing-masing.
Sebagai mahasiswa wajar jika kita
menunggu untuk mendapatkan ilmu, bukankah begitu? Wajar jika kita mewajarkan dosen yang menambah
hari libur, terlepas dari mereka liburan atau tidak. Tapi pada dasarnya, kita
harus berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan, buat apa menetapkan
tanggal awal kuliah jika kita tidak bisa sama-sama komitmen untuk menjalaninya.
Perkuliahan masalah komitmen antara dosen dan mahasiswa, bukan struktural
belaka. Tenyata menjadi dosen merupakan pekerjaan yang mudah dan bisa
menyesuaikan jadwal, jam kuliah bisa dipindahkan, bisa diadakan kuliah
pengganti, dan lain sebagainya, yang membuat sebagian mahasiswa keteteran untuk
menyesuaikan jadwal, apalagi ketua kelas, yah memang begitulah kenyataannya. Bagi
kita yang akademisi, tidak menjadi persoalan, tapi bagi mereka yang bekerja
paruh waktu untuk membiayai kuliahnya? Bagi aktivis yang tengah sibuk mengurus
organisasinya?. Ah sudahlah bukan disitu esensinya.
Semoga kebijakan seperti ini tidak berulang
ketika kelak generasi kita menjadi sosok pengajar. Pengajar itu adalah
panggilan hati, sebuah pengabdian dan keikhlasan, seperti tujuan organisasi
saya “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
SWT”. Bagi saya pengajar itu berada pada tataran pengabdian, pengabdian itu
membutuhkan keikhlasan semata-mata karena Allah SWT, kira kira demikian yang
diajarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Jadi apapun keburukan generasi sekarang,
selayaknyalah kita jadikan pembelajaran, dan kita perbaiki di masa yang akan
datang. Jika soekarno mengatakan “jas merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah, maka saya mengatakan buat apa
mengenang masa kelam jika bukan untuk diperbaiki.
